Judul | : | Dongeng Semusim |
Penulis | : | Sefryana Khairil ( |
Penerbit | : | Gagas Media |
Tebal | : | viii+260 hlm; 13 x 19 cm |
Terbitan | : | Cetakan Pertama, 2009 |
ISBN | : | 979-780-369-4 |
Harga | : | Rp 30.000,- |
Kategori | : | Novel |
“Tuhan tahu kita tidaklah sempurna, tapi menjadikan sempurna saat bersama”
Kalimat yang diucapakan Sarah di bagian akhir- akhir novel menggambarkan betapa indah, dan merdunya saat cinta mulai merambah hati dua insan manusia. Termasuk di dalamnya Sarah dan Nabil. Kesederhanaan saat jumpa tak pernah mengurangi megah dan agung rasa cinta yang dimiliki oleh keduanya. Kidung- kidung yang sering dinyanyikan oleh diva- diva dunia, seolah mengirigi langkah hidup keduanya setiap hari. Mampu mengubah apa yang biasa, menjadi luar biasa.
Bertemu di saat aktivitas kerja dalam dunia warta, Nabil yang berprofesi sebagai photographer, dan Sarah sebagai redaktur majalah Delicious, semacam majalah tentang makanan. Keduanya bertemu dalam satu proyek. Bak jurus ampuh Dewa Cinta, keduanya terjebak dalam melodi cinta yang merdu saat pertama didendangkan. Menentramkan jiwa gigih Nabil, dan kelembutan seorang wanita Sarah. Dan bertemu dalam rajutan sutra indah, bernama cinta. Menyatulah dua hati yang tak ada yang merencanakan selain Tuhan, Dzat Pemberi Cinta. Tuhanlah yang mengatur pertemuannya hingga mengatur setiap senti dari hatinya, agar selalu menyebut dan berdetak menyebut nama kekasih yang telah melumpuhkan logika dasarnya. Hingga terjerembab dalam hati yang berbunga cinta.
Keseriusan hubungan keduanya tertuang dalam ikatan suci yang diikrarkan dihadapan wali dan saksi. Dalam sucinya pernikahan. Meski sebelumnya Sarah harus berhijarah dari agamanya yang lama ke agama yang dianut oleh suaminya Nabil, Islam. Meski ayah Sarah, mencoba mengingatkan keputusan paling dasar yang diambilnya. Namun dengan keyakinannya Sarah menjawab “Maafkan aku, Ma, Pa. Ini pilihanku karena aku mencintai pria ini”. Karena cintalah, Sarah tegar bak karang mengambil keputusan ini.
Cinta telah memberinya hembusan semangat yang kuat dalam jiwanya. Meyakinkan bahwa setiap kesusahan dalam persiapan pernikahan adalah jalan perwujudan cinta keduanya. Kesusahan dalam proses fitting baju pengantin, hingga urusan dengan EO pernikahan mereka. Kejengkelan saat didera semua itu, dalam kondisi deadline pekerjaan, selalu saja hilang saat mereka bertatap muka dan bersapa hati. Mungkin cinta diantaranyalah yang menentramkan hati mereka. Hingga masa itupun datang. Pernikahan suci yang diagungkan keduanya. Lelehan air mata keluarga menambah khidmat prosesi suci nan sakral itu. Keduanya sah menjadi dua sejoli, yang hidup dalam satu atap cinta, dan membawa bahtera kebahagian keluarga.
Awal mula menjalani hidup bersama, tak ada yang menandingi kebahagian keduanya. Bersama berdua. Kalau guyonan orang lain “Seolah dunia milik berdua, orang lain ngontrak saja”. Rumah sederhana, dengan atap cinta menambah mesra keduanya. Mencoba mengarungi laut kebahagian yang sering didamba banyak orang. Namun laut yang dilalui tak selama tenang seperti yang didamba. Riak hingga gelombang ombak besar, sudah siap menunggu untuk menghantam perahu yang melintas.
Mulailah gelombang itu menerpa bahtera merekan berdua. Saat Sarah memasang kaligrafi, pemberian Gladys rekan kerja Sarah. Nadif begitu tidak menerima, atas apa yang dilakukan Sarah. Ketika Sarah mulai mulai berubah untuk lebih taat beragama, salat, ngaji, berjilbab, hingga salat sunnah Dhuha. Nabil begitu acuh, dan seolah tidak menerima perubahan yang terjadi pada Sarah. Meski hal ini seharusnya baik, karena Nabil dan Sarah sendiri adalah yang beragama Islam. Acuh dan tak acuh nabil terlihat saat Sarah hamil untuk anak pertamanya. Sarah dan keluarga besar mereka berdua bahagia dengan kehamilannya. Namun Nabil seolah takut, dan memikirkan kerepotan memiliki bayi, ia begitu acuh dan tak memperhatikan keadaan istrinya. Ia larut dalam kesibukannya sendiri, proyek- proyek iklan, hingga lembur yang berlarut- larut.
Sarah yang mengerti bahwa suaminya kian berubah mencoba menanyakan perihal tersebut. Mengapa dan harus bagaimana. Keluarganya kering, tandus, tanpa ada komunikasi. Nabil begitu menenggelamkan dalam kesibukan kantor dan proyek. Meski serumah dengan istrinya namun tak ada komunikasi yang sehat. Saling diam, dan saat ditanya oleh Sarah perihal perubahannya. Selalu dijawab dengan keras, dan tak ada tanda cinta di setiap kata yang terucap. Di sisi lain Sarah mencoba banyak hal agar suaminya kembali dan mengertinya. Mulai membuatkan pancake kesukaan suaminya, mencoba berbakti sebagai seorang istri setiap hari. Meski lelah di dapur hingga malam, tak ada respon dari suaminya. Dan kata- kata hampir putus asa Sarah “Aku begini untukmu, Bil. Untukmu! Kenapa kamu seperti ini? Kalau kamu memang mau menyakitiku, lumatlah aku kuat- kuat dan tenggelamkan aku!”. Hati Nabil yang meski tak tega melihat isttrinya sedih, namun tetap keras mempertahankan prinsipnya.
Hingga Sarah jatuh tersungkur berusaha mempertahankan cinta, keluarga, dan bayi dalam kandungannya. Buah cinta dengan suaminya gugur dalam perjuangannya. Tangisnya membahana, ssedihnya tak terkira. Sudah lelah tubuh dan jiwa Sarah berusaha menenangkan hatinya yang perih, mencari kelengkapan hati bersama keluarga. “Aku bahagia, Ma. Juga merasa sakit”. Di sinilah Nabil mulai sadar akan cinta istri, dan kesalahan dirinya. Nabil sadar bahwa Sarah adalah istri yang luar biasa, begitu berbakti meski di tengah kecuekan dan egois Nabil. Meski berkali- kali Nabil meminta untuk Sarah pulang ke rumah mereka kembali, dan sering lagi Sarah meminta untuk tungu dulu. Di akhir- akhir Sarah luluh, untuk menjaga keutuhan cinta mereka berdua. Karena Sarah memang tak bisa hidup tanpa ada sisi hati yang dibawa oleh Nabil, suaminya. Sedang hati Nabil, kini lebih mengert bahwa pernikahan, tak hanya menyatukan dua raga, namun jiwa dan keseluruhan ego dan sisi- sisi pribadi saat sendiri.
Kemahiran Sefryana sebagai penulis dalam mengungkapkan permasalahan awal pernikahan patut diacungi jempol. Meski belum pernah status gadis masih tertera dalam KTP-nya. Kejelasan karakter setiap pemain begitu jelas, dan menarik dengan sedikit percakapan yang dibumbui mesra yang indah. Penulis begitu lincah menyematkan nilai- nilai islam, yang disampaikan dengan cara yang cantik. Berbeda dengan novel- novel yang genrenya sudah jelas islam dari judulnya. Namun ia begitu cantik, menyiratkan nilai yang ia sampaikan. Bahasa pop yang digunakan pun begitu enak untuk dinikmati oleh semua kalangan, baik yang sudah berpasangan ataupun belum.
Di sisi lain di penulis terlihat hanya separo dalam menulis. Konflik- konflik yang disampaikan hanya kecil, dan apabila dieksplor lebih maka akan lebih kompleks, dan inilah yang membedakan novel dan cerpen biasa. Akhir cerita yang mudah di tebak oleh pembaca, membuat mood untuk membaca di bagian terakhir sedikit tergerus. Ketegasan ending yang diberikan dapat dengan mudah ditebak oleh pembaca. Selalu happy ending.
Lebihnya buku ini asyik untuk dibaca, karena cerita yang menggambarkan kehidupan awal pernikahan. Yang penuh kebahagian, dan juga tak lupa masalah. Apabila masalah yang ada dihadapi dengan terburu- buru, maka perpecahan akan tak terhindarkan. Ketika ikatan suci bersama diucapkan, maka segala ego pribad harus mulai dikalahkan. Karena kini tidak lagi sebagai individu yang bisa kemana saja, namun sudah menjadi sepasang yang selaras dan seirama. Meski tidak harus sama total. Pastilah pasangan kita bukanlah nabi yang sempurna, terimalah dengan lapang selapang saat cincin mulai masuk pada jemari manis. Percayalah bahwa ia akan menjadi sempurna, saat bersama dan saling melengkapi perubahannya.
… Jarene wis jodho, opo- opo duweke wong loro…
Kalau sudah jodoh, semunya milik berdua
“Iki Weke Sopo?”, Waldjinah