Lelaki Tua di Kereta

Glejek...glejek...glejek

Suara itu yang masih saja terdengar, ya suara itu yang terdengar. Selain suara bising dari mulut- mulut yang masih tetap sibuk, dengan rokoknya dan memfasihkan suara- suara parau mereka. Suara parau yang seolah saja berselang- seling dengan kepulan bundar asap tembakau dari ujung rokok membara mereka. Dudukku pun lebih sering berubah sejak pertama naik. Di samping jendela, yang ku yakin sangat berbeda dengan gedung kampus kuliahku, yang sering disikat oleh penjaga dan petugas setiap harinya. Disemprot dengan pembersih dan pewangi. Seolah kinclong tanpa noda. Berbeda dengan jendela kaca di depan ini. Sudah berapa tahun sejak terakhir disikat, kini tersisihkan dengan kesibukan penarik karcis.

“Mas..., kalau kereta ini tiba- tiba berbalik arah gimana?”, tiba sekali bapak berkumis tebal disampingku mengagetkan pikiranku mengomentari jendela kereta sampingku.

“Tidak mungkin, Pak”, jawab singkatku yang kurasa itu adalah pertanyaan konyol yang ditanyakan oleh anak- anak kecil seusia adik kecil dirumah. Yang pikiran mereka masih diselimuti oleh imaginasi kuat akan dunia ini.

“Kereta memang belum pernah berputar balik. Siapa yang bisa menampik, bila itu terjadi?”, dia semakin serius. Urat wajahnya tertarik dengan kuat. Sekuat rasa ingin tahunya atau malah rasa ingin mengguruiku.

“Siapapun tidak dapat menolak kenyataan. Namun logika tak berkata demikian”, kucoba menjawab sedapat pikiran, yang masih saja terbayang tentang kaca jendela yang tadi ku tatap selekat- lekatnya.

Terkekeh- kekehlah keras tawa bapak yang ini. Tawa sepuasnya, seolah aku yang berada di depannya adalah lawak yang siap mengocok perutnya karena guyonan yang kadang tak berkualitas.

“Kalau logika bangsa ini berjalan. Tak bakal aku naik kereta tua ini. Yang pasti museum di tengah Jogja siap kapanpun menampung, sebagai barang purba”, usai menjawab kembali ia menghisap dalam- dalam rokok yang kuyakin itu adalah thingwe, terlihat dari tak satupun merek yang sering ku lihat ketika ke warung dekat rumah. Memang benar itu rokok buatannya sendiri. Dengan kertas dan tembakau dan digulung sendiri.

“Dengarlah Nak bicara orang tua ini. Kereta ini berjalan bukan karena logika, tapi logika yang ada dalam diri Habibi itulah yang berjalan bak kereta. Tapi apa yang sejak tadi kupikirkan tentang kereta yang kita tumpangi ini, selalu saja tak pernah ada ujungnya di logika. Entahlah”, ia kukira sudah setua itu membicarakan seperti itu. Mukanya sudah tidak setegas para demontrans yang kadang turun ke jalan, sekedar memaksa keringat keluar dan badan legam terbakar.

“Apa guna logika kalau begitu?”, kusambungnya dengan tanya yang sebenarnya ku paksakan saja. Biar ia tak terus- terusan bicara. Dengan harap agar ia berhenti, lantaran kelu tak mampu member jawaban. Aroma tembakau dari kedua bibir gelap tuanya, membuat mual bila terlalu membaunya.

“Bicara guna”, kembali tawa besarnya meledak diantara kursi dua yang sedang ku duduki bersamanya. Dan orang- orang pun tak satu yang tertegun. Saking bisingnya bunyi kereta, atau mereka sengaja karena tak mau masuk obrolan yang nggak jelas. Ku dalam hati pun ingin segera sampai di Kutuarjo, untuk menyapa tenang nostalgia rumah beserta keluarga.

“Guna jangan pakai logika. Tak satupun yang orang bilang ada guna, namun masih saja bikin orang tersiksa”, kereta tetap saja berdentum keras- keras membuyarkan suara paraunya bapak itu.

“Masih kau ingat tentang berita koran dua pekan lalu. Dimana orang- orang yang bersuara di kota, meneriakkan demokrasi, dibilang bikin rakyat senang hati. Hanya sehari, namun bikin banyak orang kecewa ditambah sakit hati”, jawabnya berapi- api. Yang ku yakin pastilah orang tua yang duduk disampingku adalah ,mantan aktivis atau apalah namanya.

Raut wajah tuanya tak setua suaranya yang menggelora, mengalahkan suara kereta yang apabila ku sendiri pasti terlelap karena apalah. Sesekali lewat penjaja makanan kereta, lanting, dan nasi bungkus lima ribuan. Dan pastilah yang tak bisa ku tahan adalah ketika bencong lewat sambil mengamen. Pernah sekali ku naik kereta, dicoleklah aku dan jijikku kepadanya semakin menjadi mulai hari itu. Minyaknya bikin pusing berhari- hari. Kata orang minyaknya minyak si nyong- nyong.

Ku ingat kembali bacaan koran dan tayangan tivi dua pekan yang lalu. Ku ingat- dan benar- benar kuingat. Karena aku bukanlah orang yang terampil membaca, dan mengingatnya. Ku baca, dan beberapa kemudian hilang kadang tak lagi kutemukan.

“Berita memang kadang berlebih, Pak. Yang benar, bisa salah. Apalagi yang salah, sudah pasti salah?’, kembali jawabku selalu mengundang tanya selanjutnya saja. Jawabku tidak sempurna, masih tersisa dihalangi malas dan lelah dalam tenggorokan. Seolah akan memuntahkan yang tidak jadi muntah.

Glejek....glejek....glejek

Selalu saja suara kereta itu memecah kebisingan. Suara yang sama sekali tidak nyaman didengar. Kupingku bertambahlah bising karenanya. Atau justru menambah suara bising, yang sudah gaduh dalam kereta. Penjual minuman, dan minuman yang ku tak bakal menjajahinya. Betapapun lapar dan dahaga dalam diri, tak kan kubiarkan makanan yang entah bagaimana memasaknya, masuk dalam perutku. Musisi jalanan penjaja hiburan tidak bakal menghibur keseringan. Musiknya entah masuk atau tidak, hanya menambah kejengkelan dalam pikiran.

“Dik, masih kuliah?”, pertanyaannya mecah di tengah kepulan asap rokok yang bulat- bulat keluar dari mulutnya.

“Kuliah, Pak”, kujawab singkat, sejak awal kutak banyak perhatian ke bapak yang duduk di sampingku. Asap rokok membuat batuk sesekali.

“Masihkah mahasiswa sekarang selantang dulu? Seperti Tan Malaka atau sebayanya?”, tiba- tiba katanya menarik mukaku untuk memperhatikan ke bapak.

“Sepertinya masih lantang Pak. Buktinya sering kudimacetkan oleh mereka yang turun ke jalan. Atau ku temui mereka yang sedang diskusi di ruang diskusi. Yang ditulispun demikian. Lantang menentang, meski harus diburu orang tak senang”, jawabku kini sudah serius. Meski sesekali aku menatap luar jendela, dengan harapan segera sampai ditujuan Kutoarjo.

“Mahasiswa itu yang punya negara. Jendral Harto keluar istana karena mereka. Merekalah yang kelak duduk kembali di istana. Namun tak semua mereka siap seminimal- minimal kayak Harto”, tegasnya begitu saja. Dalam hati kalau diantara penghuni kereta tua ini ada keluarga cendana atau siapa yang disuka mereka, pastilah orang tua ini akan ditindaklanjuti atas omongan santainya. Hayal hanyalah hayal. Mana mungkin, sangatlah kecil peluang mereka untuk kereta yang jendelanya saja lebih bersih lantai dapur rumah mereka.

“Siapa yang kau takuti Nak?”, tanyanya begitu tiba- tiba.

“Tak tahulah Pak? Yang kusegani adalah mereka yang paling sering memberiku nilai C. Ku segan dengan mereka, karena terlebih ketakutanku mendapat nilai serupa dilain kelas”, kujawab dengan jujur saja. Memang itu benarnya, tiada yang kututupi.

Terkekeh kembali tawa bapak itu. Entah apa yang lucu. Dengan kesadaran bahwa memang hampir semua teman sekelas di kampus, semua pada enggan mendapat nilai C atau lebih buruk ketimbang itu. Hampir semua tak hanya diriku. Apa Bapak ini tidak pernah duduk di bangku kampus? Yang hingga ia tidak paham betul bahwa nilai C itu buruk, sangat buruk bagiku. Dimana selama dibangku abu- abu tak sekalipun nilai afektifku mendapat C, maka ku takut dengan huruf kecil itu. Atau mungkin bapak itu hanya berfikir, kalau C hanya untuk vitamin C. Bereratan dengan jeruk, lemon, dan buah yang segar dimulut tentunya. Terlebih dinikmati disiang yang sepanas siang hari ini. Sehingga ia justru senang ketika ia mendengar C kesebut sebagai musuhku dikampus. Mungki sesiang yang panas ini, wajar kalau kadang pikiran masih saja terawan- awan di mega langit biru. Ditambah panas kereta bak sauna di salon saja.

“Hehehehhe. Kau memang mahasiswa sejati. Yang suka dipuji karena IP-nya tinggi”, sambil tertawa ia mencoba untuk menjelaskan. Meski kesal mulai mengahantui lorong- lorong pikiran yang sejak berangkat dari Stasiun Balapan lelah tidak karuan.

“Benar saja lah Pak. Kini harus berjeti-jeti kalau mau masuk perguruan tinggi. Apalagi yang harus dicari kalau begini. Nilai lah pedomannya. Siapa yang tidak mau tersisih harus berjuang melipat lengan baju, untuk maju mengejar nilai itu”, kusaut dengan jawaban yang sesuai apa yang kurasakan. Dan memang itu adalah kenyataan yang sekarang ku alami bersama kawan- kawan dikampus.

“Jaman aku dan temanku dulu, tak sedikitpun berfikir nilai. Biarlah itu urusan acapkali usai ujian, dan awal mulai mendaftar kembali. Tak sedikitpun kupkirkan setiap berangkat dari pondokan. Ia kutinggalkan bersama tumpukan salinan yang lain. Benar kutinggalkan. Tak pernah ku sentuh. Hanya kalau usai semesteran, baru mulai ku cari- cari. Itupun kadang tak kutemukan terselip entah dimana, diantara buku bacaan yang jauh, jauh, jauh lebih banyak ketimbang dektat buku kampus. Sejak awal tak kuingat satupun rumus mencari kebenaran fisika, yang menjadi jurusan ku dahulu. Kubiarkan saja tak ku ketahui ku simpan di bagian mana dalam otakku. Atau mungkin tak pernah sedikitpun masuk dalam otakku”, begitu panjang ceritanya.

Sebenarnya ku sering sekali mendapatkan ceritera seperti ini. Mahasiswa dulu yang jarang sekali melibatkan akademik dalam dunia kampusnya. Lebih sering berwacana, tanpa pernah berfikir tentang penelitian dan bagaimana menjadi orang nomor satu di bidangnya. Berbeda memang apa yang ku pikirkan dengan bapak yang satu ini. Jelas ia tidak akan terfikirkan untuk hal itu. Apa yang ada di kepalanya hanya mendobrak orang yang ada di atasnya. Di kepala yang sudah hampir berwarna putih semua. Masih saja berfikir seperti itu.

“Berbeda Pak, zaman dulu bapak masih kuliah dengan sekarang. Dunia dulu masih bisa mengejar kita, meski Bapak dulu lebih sering di jalanan ketimbang duduk mendengar ceramah dosen. Sekarang kita yang harus mengejar sekuat tenaga dunia itu, padahal kita lebih tinggi frekuensinya di dalam kelas. Memang dunia sekarang jauh lebih kejam ketimbang dulu Pak”, nafasku terengah- engah menjawabnya. Dadaku terasa sesak, harus menjawab sedemikiannya. Ku tahu ini sedikit tidak sopan, namun itulah suara kalbuku. Tidak bisa dibohongi sedikitpun, apalagi ditengah bising kereta yang sudah pantas masuk museum saja. Tambah kesal jadinya. Mengapa juga kereta ini tidak segera sampai di Kutuarjo. Bosan aku duduk bersandingan dengan tua ini. Otakku terkuras dan keringat deras, karena panas sauna dalam kereta.

Penjual minuman dingin, dan nasi bungkus ber-sliwer-an dalam lorong kereta yang sudah sesak dipenuhi orang- orang yang duduk beralas koran saja. Sudah berapa kali mereka lewat bolak- balik melewati posisi duduk kami. Melompati mereka yang sedang duduk, dan tidur di sela- sela kursi kami semua. Tidur merokok, dan berlaga keren dalam kereta. Menambah serba berantakannya kereta yang kunaiki bersama bapak tua di sampingku ini sejak dari Balapan Solo. Serba aneh memang mereka semua. Mereka membayar sama, tapi mau saja didudukan di lantai kereta super kotor. Bahkan lebih kotor ketimbang lubang kloset rumahku. Memang mereka mau saja didemikiankan.

Glejek….glejek….glejek….

Kami duduk berdua satu bangku. Dihadapan kami berdua sudah sejak dari kami memilih duduk ini, mereka dua lelaki duduk terlebih dahulu. Entah apa yang mereka pikirkan tentang perdebatan aku dan Bapak tua ini. Karena sejak kami berangkat mereka berdua hanya duduk diam, tanpa sedikitpun suaranya terdengar. Bahkan suara kentut dan baunya saja tak kami rasa. Hanya sesekali asap rokoknya menambah penuh sesak asap rokok dari Bapak yang di sampingku.

Siang itu ku rasa memang jauh lebih lama dibanding biasa. Stasiun Balapan hingga Kutuarjo serasa perjalanan ke Jakarta saja. Jauh, jauh lebih lama. Botol air mineral pun sudah kosong, habis terminum karena sengat panas yang sangat siang ini. Karena memang bulan agustus adalah puncak panas musim biasa. Entahlah mungkin ini seribu keberuntungan yang ku dapati. Sudah panas, sesak, ditambah dengan duduk disamping Bapak tua yang aneh sekali pikirannya.

“Nak… mengapa hamparan padi ini tak segera dipetik oleh si empunya?”, tiba- tiba ia berkata demikian. Sembari memandang ke luar jendela kaca depan mukaku.

“Pasti karena ini belum tua Bapak. Daunnya masih hijau, isinya pun belum penuh Pak. Mereka belum merunduk sepenuhnya. Masih separuh yang kosong Pak. Empunya pasti tak akan mau rugi banyak kalau dipanen. Mereka menunggu untung besar datang, baru mereka panen ramai- ramai. Mirip pesta panen”, kuutarakan apa yang kuketahui saja. Empunya pasti takkan mau memanen sesuatu yang justru bikin rugi besar. Padi yang belum kuning sempurna ini hanya akan membawa rugi besar, jikalau diunduh sekarang.

“Empunya akan selamanya rugi Nak. Kalau yang punya harga memainkan mereka. Mengombang- ambingkan harga gabah. Tinggi sebelum panen, dan jatuh rendah kalau mereka membawa padi dari sawah”, suaranya kini pelan seolah- olah begitu empati melihat padi yang begitu- gitu saja nasib setiap tahunnya. Tidak ada yang berubah dari waktunya.

“Sekali ini saja ku ketahui, banyak padi- padi muda yang belum usai berisi harus putus di tengah waktu. Mereka masih punya setengah selongsong ini yang belum terisi. Mereka dihentikan oleh si harga. Mereka lebih sering demikian. Dan hanya sapi- sapi rakus yang akan menelan. Sapi- sapi di pasar, di sawah, dan di ladang kotor. Seharusnya ia akan menjadi sarapan pagi dosen, dekan, bahkan rektor universitas kenamaan. Itulah padi muda yang malang. Tak sempat berisi namun sudah mati ditelan harga tinggi”, paparnya begitu panjang.

Namun mendengarkannya kali ini sungguh terenyuh. Masuk ke dalam dan menyatu dalam nadi berdenyut- denyut. Bapak ini telah meyalakan api sekam yang ada dalam diriku. Biarkan ia menyala Pak, agar orang- orang disekitarku dapat merasakan hangatnya sebuah unggun dalam tubuh pemuda satu ini. Kata penuh kiasan ini membuatku kembali pada- pada buku syair yang sudah lama sekali ku tinggalkan sejak masuk ke kampus. Buku- buku syair yang dulu ku gemari lantaran tugas resensi yang diberi oleh ibu guru.

“Pak. Disamping padi muda yang mati sebelum berisi. Juga ada mereka yang sengaja mengosongkan isi- isi padi muda itu. Menelankan mereka dalam perut jalanan yang ganas seperti kereta ini. Sehingga ia terbakar oleh asap knalpot dan putung rokok jalanan. Mereka hilang masuk dalam gang- gang sempit kota. Padi itu kalau sudah begini, akan susah kembali”, tambahanku atas apa yang diomongkan oleh orang tua di sampingku ini. Ia memang sungguh bijak dalam berucap dan bersapa.

Panas kereta kini sudah semakin saja panas. Ditambah lagi ucapan pedas oleh bapak ini. Membuat hati semakin saja terbakar oleh amarah.

Glejek…glejek…glejek….

“Nak. Janganlah kau jadi seperti tengkulak. Yang hanya memasok makan untuk perut sendiri. tak pernah peduli dengan orang di lain sisi. Mereka juga butuh nasi padi, bukan nasi basi sisa sapur mereka. Mereka masih punya hati Nak. Jangan jadi tengkulak apapun, baik tengkulak harga atau tengkulak beras. Yang memakan yang muda, apalagi tua yang sudah berisi”, tutur nasihat yang ia ucapkan. Mirip kata- kata eyang kakung bila idul fitri tiba, dan kita sungkem dihadapan para orang tua keluarga.

“Akan kuusahakan Pak”, jawabku meski aku benar sekali tidak bakalan menjadi seorang tengkulak. Tengkulak samping rumahku saja dicemooh seluruh warga kampong. Akhirnya ia pun menjadi pedagang pasar belaka.

Masih saja Kutoarjo belum juga ada di samping jendelaku. Ku rasa tinggal satu stasiun lagi, ku kansampai di Kutoarjo. Ku sudah merindunya sejak ku naik dari Balapan tadi. Stasiun ke stasiun serasa lama sekali, hingga pantat ini berkunang- kunang saja rasanya. Berulang kali ku ganti posisi dudukku. Biar tak semakin pegal posisi dudukku. Apalagi kaki- kaki ini tak bisa selonjoran sempurna. Ku maklum karena ini kereta kelas ekonomi, yang biasa dinaiki oleh warga kurang berada, atau ungkin dinaiki oleh orang yang memang sengaja menghemat pengeluaran.

“Nak, adik turun mana? Atau akan melanjutkan perjalanan jauh ke istana?”, pertanyaannya membuyarkan semua usaha untuk sekedar melepas penat berdiskusi dengan dia.

“Kutoarjo, Pak?”, jawabku singkat karena ku lirik paling tidak sepuluh menit lagi Stasiun Kutoarjo akan sampai dan ku turun di sana.

“Hati- hati di jalan. Jangan sampai kau berkenti di jalan. Umurmu masih sangat dini. Cita- citamu Bapak yakin tinggi. Raihlah itu. Dan segeralah turun ke jalan kembali, agar orang lain merasakan apa yang kau miliki. Jangan sampai kau sembunyikan gigi kalau kau dijalan nanti. Hati- hatilah nak. Banyak yang tak senang dengan yang muda saat ini”, nasihatnya sebijak usianya kukira. Nasihat yang pastinya tak kudapatkan dibangku kelas di kampus. Hanya dari bapak tua, yang duduk disampingku sejak dari Balapan ini. Di kereta tua yang jendelanya saja sudah tak karuan debunya, membuat tambah kotor jendela yang using usianya.

Ku beranjak dari kursi kereta di pojok dekat jendela. Ku ambil ransel yang ada di tempatnya di atas kursi kami. Ku beranjak dari tempat duduk kami. Bapak itu masih saja asyik menghisap rokok dan sesekali mengeluarkan asap pekat dari kedua celah mulut keriput tua. Kutoarjo sudah di depan. Kereta pun sudah mulai melambat dan tepat di depan mulut turun stasiun kutoarjo kereta berhenti.

Langkah mulai menapak di jalan beraspal di stasiun. Berjuta aktivitas warga berjubel distasiun. Terutama penjual kelontong, dan makanan yang siap dijajakan. Termasuk makanan khas, yang biasa digunakan sebagai buah tangan para pelancong ataupun tamu yang datang ke Kutoarjo.

Nasihat- nasihat bapak itu sungguh aneh dan dapat ku ingat semua kata- katanya.

“Ah… aku lupa menanyakan siapa nama Bapak itu? Atau sekedar bertukar nomor Hp?”

Jogja, Agustus 2009

***

thingwe : rokok dengan bahan terpisah, dan digulung sendiri (jw: nglinthing dhewe)

lanthing : makanan kecil khas jogja

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar