Penulis : Sinta Yudisia
Penyunting : Taufan E. Prast
Tebal : x + 584 hlm; 13 x 20,5cm
Terbit : Cetakan 1, Desember 2008
Kategori : Roman Sejarah
Harga : Rp. 63.000,-
ISBN : 979-1367-59-0
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House
Sudah seberapa banyak buku sejarah yang kita baca? Banyak yang mengatakan bahwa sejarah hanya akan membuat kita gerah, dan lelah membacanya. Penampilan sangat menentukan semuanya. Novel ini mungkin harus dibaca, jika kita sudah mulai bosan dan enggan membaca buku sejarah tebal. Buah karya Shinta Yudisia, menampilkan sejarah dengan alur yang menawan, dengan runtun menuntun. Sejarah Mongol dengan perjuangan putra mahkota Takudar, menjadi latar belakang dari novel ketiga dari trilogi Sinta Yudisia. Membuat yang tidak pernah menjamah tanah Mongol, akan tergambar sejarah silam dengan gamplang.
Dua novel sebelumnya “Janji” dan “The Lost Prince”, yang juga berlatar belakang Mongol. Dua trilogi sebelumnya menceritakan perjuangan Takudar dan ketegaran punggawa Kerajaan Mongol. Ingatan kita akan kembali segar dengan hadirnya buku ketiga ini. Alur cerita akan kembali tebayang.
Kisah cerita dimulai dengan menceritakan keberadaan ketiga anak Tuqluq Timur Khan. Takudar, Arghun, dan Buzun. Timur Khan yang merupakan keturunan Sang Kaisar Besar Jenghiz Khan. Timur Khan mengampu tampu kekuasaan Mongol. Dalam rentetan epik Shinta, Timur Khan melakukan perjalanan pemburuan. Di tengah perjalanan rombongan Kaisar bertemu dengan kawanan pecinta perjalanan yang saat itu dipimpin Syaikh Jamaluddin. Kejengkelan Timur Khan dengan penuh amarah, bermaksud memenggal pengganggu mereka. Benarkah akan dipenggal?
Yang benar akan selalu bersinar. Pesona islam dalam diri Jamaluddin mencuri hati Timur Khan. Dalam janji seorang Kaisar Timur Khan, akan memeluk Islam setelah mampu menyatukan Mongol. Seandainya maut sudah menjemput, biarlah anak dari keduanya yang akan menyaksikan dan menjadi bukti akan janji tersebut digenapi. Rasyiduddin, putra Jamaluddin, dan Takudar, putra Timur Khan. Benar saja, kematian telah memaksa kedua anak manusia, tersebut mengenapi janji kedua ayah mereka.
Di dalam istana, Arghun Khan mengambil alih mahkota kekaisaran Takudar. Mahkota yang seharusnya menjadi pakaian dari Takudar sang putra Mahkota. Keluar dari hiruk pikuk kekuasaan Takudar memilih pergi dari kerajaan Ulan Bataar. Kekaisaran Arghun Khan, sangatlah keji dan penuh ambisi. Ambisi untuk melanjutkan masa emas leluhurnya, Jenghiz Khan. Misi besar Arghun adalah melebarkan sayap Mongol hingga Jerusalem. Sedang saudara muda Buzun menjadi abdi negara, kepala perbendaharaan negara. Dengan tetap tidak henti, berusaha mencari saudaranya Takudar.
Dalam perjalanan pergi dari kerajaan, Takudar bersua dengan Ying Chin, gadis Mongol yang kelak dikenal dengan Almamuchi dan Uchatadara. Perjalanan Takudar berhenti di Madrasah Baabussalaam, saat bertemu dengan Rasyiduddin (Salim), putra Syaikh Jamaluddin. Yang akan menjadi separuh hati dalam perjuangan melunaskan janji ayahnya. Kenangan masa lalu sudah ingin Takudar delete dalam memori otak. Sayang seribu sayang, ia berada dalam segerombol macan yang haus akan keadilan. Sedikit bara dalam semangat Takudar, disulut oleh orang-orang sekelilingnya, para syaikh, gubernur islam, dan para guru. Darah juang merembut tahta Mongol. Keseriusan Takudar belajar siasat perang, dan mencoba belajar sejarah akan Mongol dari Kitab Rahasia Sejarah, yang selama ini disembunyikan dari umum.
Dalam istana intrik politik mulai mengusik. Selir Timur Khan, berkeinginan untuk menjadikan anaknya Bayduna sebagai istri Arghun Khan. Walau ia masih sedarah dengan Arghun Khan. Sedang putranya Uljaytu masuk sebagai tentara kerajaan, dengan harapan jadi perwira tinggi, yang disegani.
Dengus-dengus kebencian dibisikan ke telinga Arghun Khan. Keputusan telah diambil. Pena telah diangkat. Penyerangan Jerusalem di hadapan. Tentara penyerangan Jerusalem telah meninggalkan kekaisaran Ulan Baatar. Penaklukan dan penyerangan tak dapat dielakan. Kabar besar ini, membuat gusar warga muslim. Betapa tidak bengis Arghun Khan, membuat ia tak segan mengocar-acirkan rona damai. Hanya sekedar memperteguhkan kebesaran dan kekuatan Arghun Khan. Infasi membuahkan luka hati, bagi masyarakat muslim.
Tanah cekung Turpan, tanah yang berebntuk piring menjadi saksai mati akan saudara yang berselisih visi. Keras nan gusar pribadi Arghun Khan, bertatap muka dengan Takudar. Ingatan akan sejarah Jenghiz Khan yang terpukul kalah oleh pasukan Jaladdin di tanah cekung Balwan. Tanpa harus digambarkan, ending cerita sudah menari dalam banyangan.
Cerita heorisme seorang Takudar yang oleh Sinta digambarkan dengan penuh kedewasaan dan kebijaksanaan. Perjuangan dengan penuh perhitungan, dan lambat laun penuh keyakinan akan menuai sebuah kemenangan gemilang. Romantisme cinta menjadi bumbu tersendiri. Kisah cinta antara Takudar dan Yachin, yang malu-malu tersipu. Kisah cinta Urghana dan Buzun, yang dikekang oleh kuasa Arghun Khan. Dibalik panas suasana perang, melodi cinta tetap saja mengalun indah. Menambah bunga cita dalam hati pembaca.
Kepintaran Shinta, dara kelahiran tahun 74 ini perlu diacungi jempol. Piawai membuat kolosal sejarah menjadi cerita epik nan apik. Cerita “Takudar” terakhir ini, membuat ending yang menarik. Sebuah pergulatan akan kebingisan dan kebijakan menuntut keadilan. True way alam dimainkan dengan menawan oleh Sinta, sang kreator. Penulis yang memang sudah handal dalam mengolahretorika, menjadi bacaan bergizi dan berisi.
Bukan resensi kalau tidak objektif. Kecermatan editor harus kembali ditingkatkan. Masih ditemukan beberapa kata yang salah dalam peleburan “merubah” merubah” yang seharusnya “mengubah”. Dalam novel ini, sering disebutkan nama-nama tempat yang mungkin belum popular. Dan sayang seribu sayang, mungkin lupa atau bagaimana peta sebagai gambaran tidak terpampang. Gambaran kabur dari pembaca akan lokasi Gurun Gobi, cekung Turpan, dan letak kekaisaran itu sendiri. Disamping itu pula ada satu pertanyaan fundamental yang belum terjawab. Siapa yang sebenarnya membunuh Timur Khan? Siapa sebenarnya yang menjadi dalang dari semua ini? Pembaca akan kembali bingung akan dilemma di awal cerita ini.
Terlepas dari semua itu, novel ini perlu direkomendasikan untuk dibaca dan disimak. Keluwesan Sinta membuat cerita sejarah menjadi renyah, dengan bumbu intrik politik, dilema cinta antar tokoh yang menjadi warna. Keindahan membuat serita kolosal lebih hidup dan tak hanya khayal. Selamat menikmati, dan berkolosal dalam cerita ini. [teguh]
Posting Komentar