Misi Besar Sang Gadjah Mada


Universitas Gadjah mada menjadi salah satu universitas tua dan besar di Indonesia. Umur yang sudah hamper 60 tahun membuat UGM harus tetap menjadi universitas yang mampu mencetak lulusan yang memiliki kompetensi besar. Dimana setiap tahun hampir 30 ribu lebih mahasiswa masuk, yang tersebar dari diploma, S1, S2 dan beberapa program doctor. Dari prestasi banyak mahasiswa UGM yang mampu menunjukkan prestasinya di dunia akademis, maupun kerja ketika sudah lulus. Dari Dosen banyak dosen yang mendapat penghargaan internasional. Di tambah posisi UGM yang berada dalam 500 universitas besar di dunia saat ini.
UGM seperti namanya Gadjah Mada nama mahapatih yang mampu menciptakan mimpi dan mempersatukan nusantara. Di UGM pun dapat kita lihat kaum muda mulai dari ujung Banda hingga ujung tanah Papua, menjadi mahasiswa di Indonesia. Namun ada mimpi besar Gadjah Mada yang kini menjadikan sinergitas dalam gerak UGM, menjadikan UGM yang mendunia dan berkelas internasional. Hal ini sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Mimpi yang kini tertuang dalam misi UGM adalah menjadi universitas riset bertaraf internasional.

Berawal dari tri Dharma ini UGM mencanangkan sebagai “World class Research University” yang menjadi misi besar UGM ke depan. Karena seandainya kita melihat ke luar negeri, maka setiap universitas besar akan memiliki spesialisasi bidang seperti MIT yang khusus dalam bidang IT, kemudian Harvard University yang expert dalam hokum. Seperti itulah yang terjadi di Luar negeri. Mereka telah menempatkan diri mereka dalam bidang tersendiri sehingga public akan trust seratus persen tentang keahlian universitas tersebut dalam bidangnya. Tantangan kini terjadi di UGM, universitas yang terdiri dari 18 fakultas dengan spesialisasi sendiri-sendiri. Akan sangat sulit bagi UGM apabila ingin mengkhususkan dalam bidang tertentu. Berbeda dengan ITB atau ITS yang khusus dalam bidang teknologi. Namun berbagai treatment diambil oleh UGM. Seperti PPM yang akan menjadi stimulant bagi mahasiswa untuk melakukan penilitian. Di samping itu, program Hi-Link yang berdiri 2006 telah menjalin kerja sama dengan Kyushu University dalam bidang teknologi dan aplikasinya dalm industry. Meski program ini hanya berjalan selama 3 tahun namun diharapkan akan meniimbulkan nafas baru dalam research dalam kalangan dosen dan tenaga pengajar. Di samping program ini masih banyak program maupun beasiswa riset yang ditawarkan, baik dari UGM maupun dari pihak eksternal UGM. Hal ini seharusnya justru membuat para dosen, peniliti dan mahasiswa menjadi termotivasi dan bersemangat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan lewat penilitian.

Paradoks pun muncul kemudian. Penilitian yang dijalankan saat ini sebagian besar menggunakan dana dari kantong sendiri, sedikit sekali pihak universitas mau member sedikit bantuan terutama masalah dana. Karena branding UGM pun akan terbawa ketika hasil penitian tersebut dibuat paaper dan masuk jurnal ilmiah internasional. Akibatnya banyak dosen yang justru melakukan penitian dengan “iming-iming” dana dari pihak luar, perusahaan ataupun pihak yang lain. “Proyek penilitian saat ini masih dalam industry. Dan ini merupakan langkah menuju research university” begitu tutur dari Prof.Dr.Retno S.Sudibyo, M.Sc,.Apt direktur proyek Hi-Link. Sehingga para penliti hanya akan menelti seandainya ada proyek yang ditawarkan oleh perusahaan tertentu. Motif untuk mengmbangkan ilmu pengetahuan pun sudah mulai kabur, karena masalah kalsik. Lagu lama pun diputar kembali. Dengan demikian motif akademik akan bergeser ke motif industri belaka. Akibat beberapa tahun ke depan adalah dunia akademik yang masih jalan di tempat. Sungguh akibat yang mengerikan. Ditambah karena masih dalam tataran industry maka kebanyakan proyek penilitian ynag ditawarkan adalah dari bidang engine ering dan science. Dan penitian dalam masalah social masih kurang tutur Ibu Retno dalam ‘Final Presentation Symposium’ kamis kemarin.

Ironi selanjutnya adalah penghargaan kepada masyarakat yang kurang akan hasl penitian. Masyarakat akan lebih mengahargai kepada para seniman dan olahragawan ketimbang seorang peniti. Hingga para peniliti akan merasa enggan untuk melakukan penitian demi majunya dunia pendidikan. Masyarakat hanya akan menerima barang jadi dari penelitian tersebut, dan enggan dalam melihat betapa keras peneliti itu membuahkan hasil penilitian.
Sedemikian sempurna hasil penelitian, akan tetap sumbing seandainya penelitian tersebut hanya dinikmati oleh para akademisi belaka. Masyarakat tidak dapat menikmati implementasi, inilah mungkin yang menyebabkan masyarakat masih kecil penghargaan kepada peniliti. Yang seperti ini orang hanya akan membuat yang akademis yang menikmati hasil penelitian, sedang masyarakat luas yang notabenenya tidak mampu mencakai tingkat pendidikan tersebut tidak dapat menikmati hasilnya. Mereka yang memiliki intelektual tinggi, akan merasa diuntungkan. Sebaliknya mereka yang berada dalam golongan menengah ke bawah, hanya akan diam terpaku kebingungan dengan hasil tersebut. Apabila hasil-hasil penelitian tersebut tidak segera diimplementasikan dalam sebutan ‘barang jadi’.

Harapannya adalah UGM yang bermisi untuk menjadi World Class Research University dapat segera terwujud, dengan iklim penilitan yang kondusif di UGM maupun di tingkatan internasional oleh para akademisi di UGM. Dan tetap apapun yang kita hasilkan dalam penilitian tersebut harapannya akan tetap dapat dinikmati oleh public dengan segera mengimplementasikannya kepada hal-hal yang bermanfaat bagi public secara umum.
Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar