Relalah Masuk Pesantren (Part 1)

Pagi cerah, semua orang akan semakin bergairah menatap aktivitas keseharian dan ibadah. Termasuk Hamid mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tahun kedua itu. Hamid mahasiswa sastra Jepang, yang perawakannya hitam, memang sih ia tidak terlalu hitam. Namun kebayakan temannya memanggilnya Hamid pitem, pipi item. Betapa tidak mahasiswa asal Bojonegoro itu sudah puluhan tahun hidup dengan panasnya suhu Bojonegoro. Semangatnya begitu lekat terlihat dari langkah dan irama gerak dinamis yang diciptakan dari sepatu kat hitamnya.

Jarak kosnya memang tidak terlalu jauh dari kampus UNY. Hanya berjarak 500 meter. Kosnya bisa dibilang kos yang terjepit antara UNY dan UGM. Kosnya didaerah Kuningan atau lebih tepat di daerah Masjid Muqowwamah, dan penghuninya 50:50 antara mahasiswa UNY dan UGM. Langkahnya santai namun iramanya tegas, lebih tegas dari guratan warna hitam dimotif bajunya hari itu.

“Nasi kuning, Bu.” Pintanya kepada Bu Tumirah, penjual nasi kuning langganan sarapannya.

Ngagem nopo Mas? Telur nopo ayam?[i]”, kebiasaan Bu Tumirah ketika melayani pelanggannya. Teks yang dirasa sudah hapal dan bahkan diluar kepala. Dan sudah dapat ditebak kalau awal bulan pasti milih ayam, namun kalau seperti sekarang tidak sdikit yang hanya minta dengan gorengan atau malah cuma nasi kuning saja. Termasuk hari ini.

Ngagem mendoan, kalih pergedel mawon Bu.[ii]” Jawabnya.

Tangannya yang sudah mulai keriput tak membatasi cekatannya dalam melayani Hamid. Dalam sekejap nasi kuning lezat dan pergedel tersaji mengundang Hamid untuk segera menyantap. Perutnya telah kosong sejak sore kemarin. Maklumlah akhir bulan harus lebih sering menghemat, agar uang gaji ngeles tidak ludes dengan cepat. Selesai melahap, ia pun mengambil uang recehan 2 lembar ribuan, dan seribu lima ratusan uang receh.

Niki Bu nyatrane. Maaf Bu, nyatrane receh.[iii]

Mboten nopo-nopo Mas Hamid. Malah apik iso dienggo susuk. Badhe kuliah Mas?”

Inggih Bu. Doanipun Inggih bu?”

Simbah doake, mugi-mugi sukses. Cepet cekel gawe. Wis kono ndang mangkat

Dari percakapan mereka saja sudah terlihat bahwa Hamid memang orang yang supel, dan pastinya pandai bahasa Jawa. Maklumlah ia putra asli Bojonegoro. Dan sudah hampir 17 tahun hidup di Bojonegoro. Sebelum tahun 2007 pindah ke Jogja untuk menimba ilmu.

Aktvitas kuliah cukuplah padat. Kuliah, mengerjakan tugas, aktivitas di masjid Mujahiddin, dan sorenya ngajar les Bahasa Jepang sebagai part time-nya. Atau lebih sering sebagai sumber uang bulanannya. Sudah hampir tiga bulan ibunya tidak mengirim uang bulanan. Panen gagal yang disebabkan hujan dan bendungan tidak menentu debut airnya. Akibatnya padi yang hampir menguning akhirnya mati, dan panen dini dengan hasil hanya setengah dari hasil panen maksimal. Apabila diusut sampai atas, maka global warming juga menyebabkan Hamid kerja keras di privat Bahasa Jepang. Untungnya ia kuliah atas beasiswa PMDK sejak tahun pertama hingga lulus nanti.

“Hamid, nanti datang syuro kan?”

“Insyaallah Mbak? Bakda Ashar jam setengah empat, di taman rektorat kan Mbak?”

“Iya. Emang dak di-SMS po? Ingat lho amniyah dan amanah”

“Iya Hamid tahu. Kalau amniyah juk ngopo?”

“Dasar arek Bojonegoro!” canda kepada hamid.

Oya akhwat, mahasiswa putri yang diajak bercakap Hamid adalah rekan organisasi di Mujahiddin. Namanya Imeh, aslinya Fatimah Ulfa. Mahasiswa pendidikan Biologi seangkatan sama dengan Hamid. Cerewetnya minta ampun. Jilbabnya sih lebar, dan perawakannya mirip Anna dalam film Ketika Cinta Bertasbih kang Abik. Astaghfirullah. Hati Hamid selalu saja berdendang istighfar, karena sering berdesir ketika bercakap dengannya. Takut terjebak jerat syaithon.

“Andai saja Adikku Alfi seanggun Imeh. Pastilah akan menambah aura cantiknya” bisik Hamid dengan dirinya sendiri. Adik perempuan Hamid Alfiatus Sholihah.

Sholat dhuhur usai, ia pun pergi ke dosen pembimbingnya untuk konsultasi tugas paper tentang budaya jepang yang ditugaskan pekan lalu. Kecintaan Hamid kepada Jepang memang berat. Ya lebih berat dari emas 24 karat. Kalau Hamid berbicara Jepang, maka ia seolah Duta Jepang untuk Indonesia, semuanya ia ketahui. Dari Ikebana hingga nama Yakuza-yakuza di Jepang. Luar biasa. Konsultasinya selesai hingga jam 2 siang. Perutnya mulai melilit karena lapar, namun ia tetap teringat kalau uang di ATM tinggal seratus lebih sedikit dan harus dipakai selama tiga pekan hingga uang ngeles turun. Dan didompet Cuma ada lima ribu tiga ratus rupiah. Maka ia mampir di angkringan depan Student center UNY dan melahap satu bungkus nasi kucing, satu tempe, dan satu sate usus. Minumnya Cuma air putih saja, biar gratis. Total makan siangnya cuma dua ribu tiga ratus rupiah.

Dan ia segera ke Mujahiddin untuk persiapan sholat ashar. Namun tiba-tiba HP monoponiknya bergetar dan ada SMS dari Alfi adiknya.

Aslm.How are you, Mas? Alfi pekn dpn ujian msk SMA1. Ddoakn ya biar lancar&lulus. Biar Alfi mask SMA favort&dpt beaswa kya MsHamid. Mas Hamid lagi ngapain? Alfi ma Ibu lg masak. Hehehe. Wish me luck. We love you, Mas

“Aduh Alfi sms pas pulsa abis. Afwan ya Alfi mas ndak bales. Nanti maghrib aja sekalian ngisi pulsa di Adi.”

Udah hampir satu semester Hamid tidak pulang ke Bojonegoro. Alfi pasti sudah asyik dengan mas pubernya. Khawatir memang akan masa remaja Alfi. Remaja putrid di jogja memang sangat berbeda dengan remaja putri di daerah asalnya. Memang sih, Alfi belum bisa seperti Imeh temannya. Jilbab Alfi masih kecil, namun usaha dari Hamid tak kecil. Ketika pulang Hamid akan genjar mengajak untuk belajar bersama. Maklumlah jiwa aktivis dakwah selalu saja membara, ketika ada hal yang aneh. Inginnya Hamid agar adiknya masuk pesantren Gontor atau Assalam Solo. Biar ada yang benar-benar belajar agama islam.

Adzan ashar membuat kelelahan setiap insane berhamburan ke luar. Khusyuknya sholat menyejukkan hati. Letih, lelah dan turunnya gairah tiba-tiba musnah dan kembali penuh seperti di-charge kembali.

Usai sholat Hamid menyempatkan melanjutkan tilawah alquran, dan ia membaca beberapa lembar alquran. Memanfaatkan waktu sebelum syuro dimulai.

Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu). Ali imran 42.

Menjadi salah satu ayat yang dibacanya. Langsung ia teringat kepada Alfi adik perempuannya yang baru saja sms sebelum ashar tadi. Keinginannya agar menjadi muslimah yang mampu menyejukkan bagi keluarga dan sekitarnya, dan kelak suaminya. Dalam hati Hamid berdoa agar adiknya menjadi truly muslimah. Memang keinginan ini belumpernah ia utarakan kepada Ibu atau Alfi sendiri. Ia merencanakan untuk pulang liburan semester ini, dan membicarakannya. Bertepatan pula masa penerimaan santri baru di pesantren. Doa dan linangan air mata menjadi penyejuk dan penyubur harapan itu.

Tepat jam empat syuro dimulai. Ramdhan memulai dan memimpin syuro. Dialah mas’ul SKI Mujahiddin. Kini Aldi yang tilawah, dia membaca Al Anfal 10 ayat pertama, gelora semangat memanas di tengah rapat. Yang hadir sore itu Ramdhan, Aldi, Hamid, dan Supri. Dan akwat ada Imeh, Ratih, dan Maria. Dan semua teman di Mujahiddin membicarakan tentang rencana untuk penyambutan mahasiswa baru, kemudian ramadhan dan agenda waktu liburan kita.

Dalam pertengahan syuro yang kadang diselingi dengan debat, tiba-tiba Hp Hamid bergetar bergetar. Dan dilihat nama Alfi disana. Namun ini bukan sms namun telpon. Meminta izin untuk menjawab telpon.

To be continued.....


Mau tahu kelanjutannya? Tunggu Part selanjutnya....

[i] Pakai apa Mas? Telur apa ayam?

[ii] Pakai mendoan sama pergedel saja, Bu?; Mendoan : tempe goreng dengan balutan tepung, dengan campuran potongan seledri

[iii] Ini Bu uangnya. Maaf uangnya receh.

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar